Postingan

Belajar Bersyukur dari Tiupan Peluit di Persimpangan Jalan

     Hari ini aku bersiap menuju kampus di kotaku. Keperluan sepele memaksaku berdandan rapi dengan standar anak  kuliahan . Buku-buku yang semula aku pinjam dari perpustakaan sebelum pandemi melanda, kini harus kembali menuju rak istimewa di kota sana. Tempat dimana orang-orang begitu membutuhkan, tak seperti di rumahku yang terabaikan.  Perpustakaan memang menyenangkan. Tentu bagi mereka yang gemar baca tulisan. Atau barangkali mereka yang dikejar  deadline  tugas untuk segera dikumpulkan. Aduh! Seusai melakukan serah-terima buku pinjaman dengan seorang pustakawan, Kaki ku merengek segera minta kembali ke kediaman. Padahal, mataku sedang ingin cuci mata. Melihat para mahasiswi berkeliaran dengan paras cantik jelita.         Di perjalanan pulang, aku memikirkan apa yang harus kulakukan setelah sampai di tempat berbaring? Tentu hal-hal menyenangkan kubayangkan. Barangkali  menghubungi doi sekedar untuk bertanya kaba...

Fana

Sudah lama aku menempuh Hingga berjalan cukup jauh Tak kunjung jua aku berlabuh Pada cenderamata arta aku rapuh Aku mengusap keringat dan menjerit Di bawah sempitnya lengkungan langit Sembari menyanyi elegi, menahan sakit Serasa nestapa senada sedemikian dirakit Ingin hidup bersahaja Tanpa serapah mendera Hirap rasa cinta permata Cita cipta cumbana dewa                                  Mojokerto, November 2020

Sekolah Zaman Sekarang

  Sudahlah pak, jawab dengan tegas Anda sudah malas bekerja yang keras-keras Adanya sekolah hanya sebagai jalan pintas Bermodalkan keras dan ilmu sangat ringkas Ayolah Bu, sekarang jujurlah Bosan dengan pekerjaan rumah Sekolah menjadi tempat berhijrah Meminimalis upaya memaksimalkan upah Sebenarnya kami juga ingin berterus-terang Ilmumu kami terapkan sangat jarang Demi gengsi kami rela membuang uang Hanya tidak mau dikucilkan orang Dengan jujur kami menyerah kalah Tujuan kami sekolah hanyalah ijasah Bukan terhadap ilmu kami serakah Soal masa depan, pada Tuhan kami pasrah                                                          Kediri, 2017.

Setangkai Pohon

Sebuah tangkai pohon besar menjatuhiku Ketika aku terlelap pukul satu Dengan luka parah bersimbah darah Aku bangun dan mencaci-maki Belum selesai aku mencaci Setangkai lainnya menjatuhiku lagi Aku nyaris terkena kedua kali Aku langsung berhenti memaki Nama suci Tuhan aku puji-puji Karena baru saja aku sadari Kalau aku tidak jadi mati                                                     Mojokerto

Intim

            Puluhan lembar kertas termakan keranjang sampah di samping kanan meja. Tangannya gemetaran ketika mulai menempelkan ujung pensil pada selembar kertas untuk membuat sketsa. Dia tersumbat. Macet. Dia kehabisan ide untuk membuat sebuah mahakarya atau sekedar sebuah karya saja. Baginya tekanan banyak pihak terhadap bakatnya membuatnya semakin depresi. Dia orang yang perfeksionis tapi menolak tuntutan kesempurnaan. Baginya, kesempurnaan hanya bisa diukur oleh diri sendiri. Bukan orang lain. Tuntunan kesempurnaan makin menjadi-jadi. Dia merasa tak akan ada yang bisa memahami perasaannya kini. Toh menurutnya tak ada yang lebih berbakat ketimbang dirinya. Maka mustahil   pula orang lain merasakannya. Berulangkali dia menyepi dan mencari solusi. Perhatian dari kekasih pun tak ada. Dia bahkan tak sempat memberi rasa kepada orang lain selain kepada mahakaryanya. Dia mampu bekerja seharian tanpa henti. Di sisi lain, orang-ora...

Tercipta untuk Setia

Aku, bukan sebenarnya aku. Ini hanya sebuah keber-aku-anku. Ialah orang yang tak pandai dalam urusan asmara. Jangankan asmara. Untuk memandaikan diri pun. Sulitnya minta ampun. Dalam banyak hal, sering merasa tak percaya diri. Entah kenapa bisa begitu. Padahal dalam benakku, tentu aku mampu melakukan hal-hal tersebut. Sebuah kepercayaan diri hanya mau tumbuh dalam benak. Tak mau bergerak. Keluar dan menggertak. Sekali saja kepercayaan diri itu keluar. Malah membuatku begitu congkak. Tentu sangat merugikan banyak pihak. Maka aku juga masih bersyukur dengan hal tersebut. Kembali ke topik dimana aku menyebut sebuah lafal yang bagi sebagian orang tabu. Mmm, bagi yang tuna asmara saja sih. Ya, asmara. Cinta. Tresno. Hubb. Semua sama saja. Tinggal kita memaknainya bagaimana.  Dari awal aku bilang bahwa aku tak pandai dalam urusan asmara. Bukan berarti tak memiliki sesuatu yang lazim disebut doi. Menurutku istilah doi seharusnya tak melulu dia yang sedang menjalin hubungan keterikatan den...

Potret

“Sudahlah, Mak! Pokoknya biarkan Danar menentukan jalan hidup sendiri. Anakmu ini laki-laki. Beranjak dewasa. Jika tak sesuai harapan Emak apalagi Bapak, setidaknya tolong beri kesempatan!”. Suara perlawanan Danar begitu menggelegar dan merubuhkan perasaan Emaknya. Tetangganya pun segan untuk memberi nasehat bahkan sekedar mengintip pembicaraan mereka. Watak yang  keras kepala dan tegas, menurun dari sang Bapak yang meninggal ketika Danar masih berumur sebelas tahun. Mungkin ini yang membuat Danar lebih temperamental ketimbang sang Bapak. Emaknya yang selama ini bekerja sebagai penjual sayur di salah satu pasar dekat kota merasa tak bisa memberi yang terbaik bagi Danar. Terlebih Danar sebenarnya memiliki kemampuan di atas rata-rata remaja seusianya. Emaknya pun tau apa yang diinginkan oleh anaknya. Semua terpampang jelas di balik pintu kamar tidur Danar. Tak ada yang istimewa memang. Bahkan cenderung sederhana mengikuti pola pikir remaja pada umumnya. Sebenarnya Danar bukan anak tu...