Belajar Bersyukur dari Tiupan Peluit di Persimpangan Jalan

     Hari ini aku bersiap menuju kampus di kotaku. Keperluan sepele memaksaku berdandan rapi dengan standar anak kuliahan. Buku-buku yang semula aku pinjam dari perpustakaan sebelum pandemi melanda, kini harus kembali menuju rak istimewa di kota sana. Tempat dimana orang-orang begitu membutuhkan, tak seperti di rumahku yang terabaikan.  Perpustakaan memang menyenangkan. Tentu bagi mereka yang gemar baca tulisan. Atau barangkali mereka yang dikejar deadline tugas untuk segera dikumpulkan. Aduh! Seusai melakukan serah-terima buku pinjaman dengan seorang pustakawan, Kaki ku merengek segera minta kembali ke kediaman. Padahal, mataku sedang ingin cuci mata. Melihat para mahasiswi berkeliaran dengan paras cantik jelita.

        Di perjalanan pulang, aku memikirkan apa yang harus kulakukan setelah sampai di tempat berbaring? Tentu hal-hal menyenangkan kubayangkan. Barangkali  menghubungi doi sekedar untuk bertanya kabar layaknya kaum bucin pada umumnya atau menonton film-film dari Hollywood bahkan anime. Aplikasi video game yang terunduh di telepon genggam pun sering menggoda. Seperti kaum tuna susila yang menjajankan diri di area lokalisasi. Argh! Mungkin istirahat adalah langkah terbaik. Mengingat malam hari, aku sedang ada janji dengan sekawan ngopi. Kupikir ini pilihan yang bijak. Hingga....

        Aku berhenti di sebuah persimpangan jalan. Tepat di depan mataku, seorang pria paruh baya dengan rompi scothlite berwarna hijau neon, dengan lihai mengatur arus lalu lintas. Dia memberhentikanku untuk memberi akses pengguna jalan yang lain. Arus memang padat. Hati-hati saja tak cukup. Butuh hal luar biasa agar bisa selamat sampai tujuan. Kalau pun aku masih melamunkan hal remeh seperti tadi, bisa mampus! Beruntung ada pria ini. Suara tegas, tongkat rambu, dan tiupan peluit mengarahkan para pengguna jalan. Sesaat kemudian seorang pengendara mobil memberi uang kepada pria tersebut. Sebagai bentuk imbalan telah melakukan pekerjaan dengan baik.

        "Yaa Rohman Yaa Rohim!" seru pria tersebut setelah menengadahkan tangan untuk menerima pemberian dari si pengendara mobil. Sontak aku terhenyak. Merinding. Sambil terus berjalan setelah mendapat aba-aba dari si pria, aku terus berpikir. Rasa syukur. Apa yang dilakukan oleh pria itu begitu luar biasa.  Pria itu sangat bersyukur. Hal-hal kecil seperti itu ia syukuri. Ah! Betapa malunya aku, meski hanya sebatas ungkapan hati. Bagaimana rasa syukur bisa datang dan ada dimanapun. Kepada siapapun. Untuk siapapun. Mungkin itu bentuk peringatan Tuhan kepada kita. Bagaimana rasa syukur bisa datang dari kemiskinan kita atau bahkan dengan kekayaan kita. Dari kesengsaraan kita atau kebahagiaan kita. Ini adalah contoh nyata kasih sayang Tuhan. Ya Rohman Ya Rohim. Sudah jelas juga apa yang dilafalkan orang tersebut. Dia memuji Dzat Tuhan.

        Aku banyak belajar dari peristiwa ini. Bagaimana mulut ini seringkali mengeluh. Dengan lantang sok berkata ini tidak adil, itu tidak adil. Harusnya Tuhan begini, harusnya Tuhan begitu. Lucu sekali. Tuhan kok diatur? Tuhan kok dihakimi? Tapi ini begitu relatable —dekat sekali dengan kita. Sampai-sampai kita tak bisa menyadarinya. 

        Seringkali, kita menemukan peristiwa-peristiwa luar biasa di jalan. Persis dengan ayat berikut:

"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan" (Q.S. Al-Mulk: 15)

Alangkah indah jika kita mampu bersyukur di setiap keadaan.

Pada akhirnya, sesampainya di rumah. Bukan menghubungi doi atau menonton film. Akan tetapi mencoba menyajikan kisah kecil yang mungkin bagi kalian bukan apa-apa, tapi bagiku apa-apa. Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan yang Tak Pernah Kembali

Sajak Sundak

Apa itu merdeka? 2