Postingan

Menampilkan postingan dengan label Puisi

Hujan yang Tak Pernah Kembali

(Setelah) Jatuh, dengan acak dan bebas. Siapa yang lebih berani; Siapa lagi yang lebih yakin daripada hujan yang tak pernah kembali ke pangkuan kawanan awan yang mengandungnya di sepanjang kemarau; lalu. Justru membumi bersama jasad-jasad mati, yang tak pernah (jua) lagi menghirup aroma hujan yang angu.

Cinta

Adalah anatomi nan berparas Adalah setiap desas-desus nafas Adalah segala pikiran tanpa bias Adalah menyeluruh dengan ikhlas Seperti daun yang bergoyang dan tunduk Seperti singa yang memburu rusa Seperti anjing dengan lidahnya Seperti babi yang menggeliat di lumpurnya Adalah  Kesadaran dengan kewaspadaan Kesadaran atas kekosongan Kesadaran pada keramaian Kesadaran tanpa rumusan Ialah Berasal dari gumpalan Sebab gelombang yang bertabrakan Berupa silika cahaya Kosmos mereka biasa menyebutnya

Kesepian Bersama

Kita adalah kesepian bersama Mengitari tata surya yang sunyi, berdua Tak ada bintang-bintang, bulan, matahari, bahkan cinta kita. Demi seluruh apa kau berani menyerahkan diri kepada ketiadaan rasa?  Bukan sekedar miris, kekasih. Ini terlampau tragis. Sialnya, kita telah menyatu menjadi kenangan. Juga, kita terlalu larut sampai kalut. Sudah pasti, tak akan ada yang bisa menyelamatkan kecuali kita sendiri. Lalu, jika waktunya telah tiba, kita akan turun bersama. Entah sebagai hujan yang menghapus seluruh kesedihan kita, atau sebagai pelangi yang menghiasi harapan-harapan kita.

Rusuk-Rusuk Rusak

Berapa kali; Awan menyisir seluruh kesedihan yang kau terbangkan ke langit? Kenyataan bahwa ia tak pernah letih adalah pukulan telak terhadap harapan yang kau gaungkan kepada Penghuni langit. Seberapa dalam jua luka telah menganga, menjadi ngarai bagi rusuk-rusuk rusak. Adalah kabut; seluruh isak tangis telah menguap. Mengubur rusuk-rusuk rusak dari buruan koloni burung bangkai. Bahkan kabut tak rela, rusuk-rusuk akan lebih rusak lagi dan kecewa lagi. Rapuh; Lalu suatu waktu, jikalau kabut dengan terpaksa meninggalkan dan tak sanggup lagi membantu. Apakah rusuk-rusuk rusak itu menjadi buruan, atau malah menjadi debu dan memandikan seluruh permukaan luka menjadi padang pasir debu?

Sabana (Kedua)

Aku menghampiri Sing a  Mencoba berkompromi  Seandainya taring diganti saja  Dengan sinyal gelombang frekuensi Juga aku menyapa Surya  Mengapa sinarnya tak merasuk  Biasanya menyebar luas bukankah Ternyata sensor gamaku payah  Aku mengambil jeda antara singa dan Surya  Hampir ku teguk sebotol zam-zam Spontan teringat mereka  Bingung dengan opsi buatanku sendiri  Jika ku berikan pada singa  Perburuannya semakin seru  Tapi cara menghilangkan dahaga Surya  Bagaimana bisa?

Sabana (Kesatu)

Bukan gersang  Hanya tandus Tak terhalang  Mampus Congkak Surya  Dengan gagahnya  Mencela singa  Mengaum dahaga  Diantara singa dan Surya  Lamunan perjaka  Lebih utama  Kata tamtama  Sebab ketika murka  Ia lebih perkasa  Dari ribuan singa Bahkan surya

Gradasi Tirani

Aliran darah membeku  Stomata kebutuhan menutup Diapit oleh faktitus sederhana Visus junta buta sejak lama Dentang Genta krisis begitu miris Terdengar nyaring pada koklea Kolesteatoma didera tuna wacana Sebab kurikulum untuk kerja nyata Tak ada Siwa, Wisnu bahkan Brahma Yesus menangis karena kasihnya nyata Buddha sudah lama meninggalkan dunia Keriput wajah masih ingin meraja                                                           Blitar

Sekarat

  Dalam puncak kesekaratan Bintang-bintang berserakan di kepala Ombak laut menerjang gigi geraham Bibir pecah dihantam botol keras-keras Merah-merah mengalir pelan Entah itu sari anggur atau darah penghabisan Arrghh! Susah amat ingin mati Kenapa tak semudah korupsi Tinggal ambil ini dan itu Selesai sudah, Asu Izrail! Cabut aku dari kehidupan yang neraka ini Aku muak melihat istri dan juga televisi Keduanya merengek minta dipercaya Padahal aku tahu semua itu adalah dusta Meski dari omongan tetangga Izrail dengan nada sedikit mengejek bertanya Ingin pergi dari neraka kelas ekonomi untuk ke neraka kelas VIP? Tentu dengan senang hati Tunggu, Izrail Aku tarik semua doa-doaku Sampaikan juga kepada Tuhan Bahwa aku tidak jadi merengek minta dimatikan, karena Aku kira kematian sesurga demikian Sampanahan, 1 November '21

Tarian Pandemi

Dilema Corona tak kunjung reda Tak jarang menimbulkan drama Hanya melawan virus tak kasat mata Mereka menyiksa manusia dengan nyata Dalih mengucapkan demi keselamatan bersama Mereka mengancam nyawa pekerja yang nyaris menyapa rongga Aparatur dengan jelas menengkurapkan akhlak negara Masih pantaskah mereka menarik iuran wajib pada korbannya? ~ Sya Lala Lala semakin lama tragedi yang             menjadi komedi    Kini tengah dikonsumsi orang banyak sekali Kini pertentangan semakin ketat Mereka beradu argumen dengan hebat Antara pembela rakyat dengan pejabat Sama-sama punya dalil dengan sanad kuat Pertarungan masih bernilai seri Pembela rakyat melumat pejabat Pejabat membuat mufakat laknat Hasil dilanjut babak babat-membabat Nyawa manusia dianggap sederhana Ketika bencana datang melanda Mereka berkata takdir maha kuasa Secara orang awam tidak tahu kausa

Pesanku Untuk yang di sana

Pesanku untuk dia yang di sana Sayangi keluargamu seperti mereka mengasihimu hingga dewasa Jangan larut dalam sedih, selipkan sedikit tawa Jangan belenggu dirimu tetaplah bahagia Kaulah pencipta suasana Pesanku untuk dia di seberang kota Jangan sesekali kepada Tuhan kamu lupa Apalagi tidak pernah bercumbu dengan-Nya Kau sendiri mungkin ragu kepada-Nya Bahwa Dia lebih dekat dari frekuensi suara Pesanku untuk dia yang mungkin di desa Kamu harapan yang dipupuk sedemikian dalam Untuk mendapati samudera ilmu pengetahuan Jangan biarkan mereka tenggelam pada kekecewaan Karena bagi mereka kamu harapan dalam angan Pesanku untuk dia yang Mungkin terakhir kalinya Jangan biarkan dirimu tersakiti dengan sendirinya Dan jangan biarkan aku tersakiti selain engkau pelakunya Mojokerto, 27 Maret.

Sosok Beliau

Gundah, sedih Tak enak hati Takut pergi Akal sedikit terisi Diriku sepi Jangan tuhan  Amat jangan Ku mohon panjangkan Jangan sekarang Aku butuh bimbingan Aku tak sanggup kehilangan Sosok penuh wibawa Semua menghormatinya Dan banyak mengamatinya Tak bisa aku melihatnya Bila sekarang kau memanggilnya Tuhan beri waktu lebih lama Tuk sejenak hidup semasanya Karena aku butuh ilmunya Sekali lagi tuhan Beri beliau kesempatan Masih banyak orang kesesatan Ku tahu kau maha mendengarkan Jangan tuhan Tuhan, jangan Ku harap kau kabulkan Doa, pendosa sampaikan.                                                        Kediri, 2017

Pudar

  Lamunku meniadakanmu  Bukan karena tiada wujudmu  Hariku cerah tanpa mengingatmu  Meski semua butuh peringatanmu  Mengingat hanya untuk kebutuhan  Adalah sosok yang tak jantan  Sesekali kulihat semua berkilauan  Tanpa butuh suatu ikatan sentuhan  Aku malu dengan sosok lemahku  Yang tak mampu meninggalkan luka dengan laku  Namun secepatnya aku lupa kau  Sungguh aku tak punya malu                                                                                                 Mojokerto, Januari 2021

Fana

Sudah lama aku menempuh Hingga berjalan cukup jauh Tak kunjung jua aku berlabuh Pada cenderamata arta aku rapuh Aku mengusap keringat dan menjerit Di bawah sempitnya lengkungan langit Sembari menyanyi elegi, menahan sakit Serasa nestapa senada sedemikian dirakit Ingin hidup bersahaja Tanpa serapah mendera Hirap rasa cinta permata Cita cipta cumbana dewa                                  Mojokerto, November 2020

Sekolah Zaman Sekarang

  Sudahlah pak, jawab dengan tegas Anda sudah malas bekerja yang keras-keras Adanya sekolah hanya sebagai jalan pintas Bermodalkan keras dan ilmu sangat ringkas Ayolah Bu, sekarang jujurlah Bosan dengan pekerjaan rumah Sekolah menjadi tempat berhijrah Meminimalis upaya memaksimalkan upah Sebenarnya kami juga ingin berterus-terang Ilmumu kami terapkan sangat jarang Demi gengsi kami rela membuang uang Hanya tidak mau dikucilkan orang Dengan jujur kami menyerah kalah Tujuan kami sekolah hanyalah ijasah Bukan terhadap ilmu kami serakah Soal masa depan, pada Tuhan kami pasrah                                                          Kediri, 2017.

Setangkai Pohon

Sebuah tangkai pohon besar menjatuhiku Ketika aku terlelap pukul satu Dengan luka parah bersimbah darah Aku bangun dan mencaci-maki Belum selesai aku mencaci Setangkai lainnya menjatuhiku lagi Aku nyaris terkena kedua kali Aku langsung berhenti memaki Nama suci Tuhan aku puji-puji Karena baru saja aku sadari Kalau aku tidak jadi mati                                                     Mojokerto

Siapa Aku ?

Dilahirkan tanpa akurat  Dengan tangis sangat kuat  Disambut senyum lega  Datangnya sang 'Arjuna'  Bertahun-tahun berlalu  Bertalu-talu benakku  Bertanya entah pada siapa  Beratkah peran yang ku bawa ?  Setelah aku dewasa  Sekiranya Setara perwira  Seolah benakku terus bertanya  Siapa Aku sebenarnya ?  'Aku' tak punya apa  Bendaku akan hilang masa  Tanganku putus aku tak mengapa  Ternyata 'Aku' bukanlah raga  Banyak 'Aku' yang mengaku  Tapi tak jujur berperilaku  Berlebih dalam kilau  Mati dimakan Enau                                       ~Agustus, 2020.

Aku Punya Puisi untuk Mantanku

"Laila, aku punya puisi untuk mantanku"   Seketika itu telingamu memerah. Alismu saling beradu, pun kulit di atasnya mengkerut tak karuan. Kedua bibir yang pernah kulumat hebat kini melecu menolak kata-kataku yang kau anggap rancu.   Meski itu benar kenyataannya.   Kedua mata kita saling bertemu. Tapi tak saling menjamu. Kau begitu mengintimidasiku dengan segala kemarahanmu.   Ralat! Melainkan dengan segala kecemburuanmu   Kedua kakimu sudah tak kuasa di tempat. Namun, nuranimu masih acuh. Kau beranikan diri menangis di depanku yang kurasa tak perlu.   Sebagai lelaki, aku harus bersikap dewasa. Mencoba bersikap bijak seperti dalam film atau drama. Tentu seharusnya bukan bualan belaka. Aku dekati kau, hingga sengal nafasmu begitu jelas terdengar. Ku pikir kau juga merasa demikian. Lalu aku bisikkan sebuah kalimat pada telinga yang tertutup uraian rambutmu.   "Isi puisi untuk mantanku adalah kamu"   Desember 2019

Hari Raya

Kita sedang dalam sebuah perayaan  Takbir lantang dikumandangkan  Di puncak-puncak menara peribadatan  Di halaman  Anak kecil saling bersautan  Atau bermain petasan, seru mereka katakan  Sedangkan para remaja, merasa beranjak dewasa  Memilih berada dalam peribadatan  Atau sebagai pelarian dari perintah emak-bapak  Melantunkan takbir, saling bergiliran  Apa perlu kita tulis pula  Sedikit kisah para orang tua  Emak; yang sibuk mempersiapkan bumbu rendang, sate, kari , dan gulai  Begitu khas cita rasanya  Bapak; menata dan membersihkan peribadatan  Agar esok pagi anak kecil, remaja, dan emak-emak  Khusyuk dalam doa  Demikian pula bagi si bapak  Inilah sebenar-benar hari raya  Juli 2020

Puisi Pagi Hari

I Puisi ini ditulis pagi sekali Saat kabut abu-abu masih menyelimuti, bekas hujan semalam. Hujannya kaum tuna asmara. Karena iri, melihat mereka bersuka-ria. II Puisi ini ditulis pagi sekali Saat ibu-ibu berkeringat beku. Menanak nasi di atas tungku. Sambil menolak kantuk setelah suntuk. III Puisi ini ditulis pagi sekali Saat bubuk kopi masih tersimpan rapi dalam lemari. Gula masih bersemut saling berebut. Sedang air masih dingin-dinginnya, Belum sempat mendidih, meletup letus kepanasan. IV Puisi ini ditulis setelah pagi Dimana kabut telah hilang wujud. Ibu-ibu telah beres menunaikan fardlu. Bubuk kopi, gula, serta air dingin. Telah bersetubuh untuk diseduh. V Puisi ini ditulis untuk menyambut pagi. Bukan pagi sekali Bukan pula setelah pagi Tapi pagi menurut kita sendiri. April 2020