Potret
“Sudahlah, Mak! Pokoknya biarkan Danar menentukan jalan hidup
sendiri. Anakmu ini laki-laki. Beranjak dewasa. Jika tak sesuai harapan Emak
apalagi Bapak, setidaknya tolong beri kesempatan!”.
Suara perlawanan Danar begitu
menggelegar dan merubuhkan perasaan Emaknya. Tetangganya pun segan untuk
memberi nasehat bahkan sekedar mengintip pembicaraan mereka. Watak yang keras kepala dan tegas, menurun dari sang Bapak
yang meninggal ketika Danar masih berumur sebelas tahun. Mungkin ini yang
membuat Danar lebih temperamental ketimbang sang Bapak. Emaknya yang selama ini
bekerja sebagai penjual sayur di salah satu pasar dekat kota merasa tak bisa
memberi yang terbaik bagi Danar. Terlebih Danar sebenarnya memiliki kemampuan
di atas rata-rata remaja seusianya. Emaknya pun tau apa yang diinginkan oleh
anaknya. Semua terpampang jelas di balik pintu kamar tidur Danar. Tak ada yang
istimewa memang. Bahkan cenderung sederhana mengikuti pola pikir remaja pada
umumnya. Sebenarnya Danar bukan anak tunggal. Diumur delapan tahun tepat
setelah sepeninggal sang Bapak, Adik perempuannya telah diadopsi oleh seorang
pebisnis yang kebetulan juga kenalan dari sang Bapak.
Selepas perdebatan dengan Emaknya.
Danar bergegas pergi menuju kota tetangga dengan menaiki bus. Di kota tersebutlah
Danar akan menempuh pendidikan S1-nya. Perguruan tingginya pun bukan main.
Salah satu perguruan tinggi swasta terbaik di negeri ini. Danar mampu menembus
masuk ke perguruan tinggi tersebut juga karena beasiswa yang didapatkan ketika
masih duduk di bangku SMA. Tak pernah terbesit sedikit pun di hatinya bahwa Dia
mampu masuk disana. Toh dirinya tak begitu ambisius untuk melanjutkan
pendidikannya dan lebih berambisi menjadi seorang wirausahawan. Namun mengetahui
itu, Emaknya mencoba meyakinkannya agar tetap mengambil beasiswa yang di
dapatnya. Mengingat betapa sulitnya mencari uang.
Semalam, sebelum Danar beranjak
tidur, Emaknya mencoba mengobrol dengan Danar perihal keputusan yang ingin
diambil olehnya. Danar yang sedang berdiam diri di sofa mulai merubah posisi
duduknya ketika Emaknya datang menghampiri dan duduk disampingnya. Naluri
seorang Ibu tak bisa didustakan. Emaknya merasa Danar belum matang menjadi
seorang wirausahawan seperti keinginannya. Usia yang masih muda dan rawan
ditipu rekan bisnis adalah kekhawatiran yang paling mendalam. Itu juga yang
dialami sang Bapak sebelum akhirnya bangkrut. Pun Danar juga belum mempunyai
modal yang cukup untuk merealisasikan keinginannya. Emaknya pun berpendapatan
pas-pasan.
“Le, Emak inginnya kamu masuk
perguruan tinggi. Pikir baik-baik. Kamu belum punya segalanya. Pengalaman? Kamu
ingin ambil dari apa yang dialami Bapakmu? Tidak bisa, Le. Modal? Belum ada,
Le. Mau pinjam bank, pinjaman Emakmu saja ini sudah banyak. Bisa-bisa kita
terlilit hutang. Bukan menghasilkan uang.”
“Besok kamu sudah berangkat ke
perguruan tinggi. Semua kebutuhan juga sudah Emak siapkan. Mantapkan hatimu ya,
Le? Ambil momennya. Ambil kesempatannya. Ini datang tidak dua kali meski kau
pintar.”
Danar tak menjawab barang sepatah pun.
Melirik wajah emaknya pun segan. Bahkan akan membuat hatinya semakin tak
karuan. Dia bergegas menuju kamarnya dan menutup pintu. Emaknya juga hanya bisa
pasrah dengan kelakuan anaknya serta berdoa agar apa yang diambilnya nanti
adalah sebuah keputusan yang benar.
Pagi harinya Danar masih diam tak
melontarkan kalimat apapun. Dari gelagat yang dilakukannya, Danar tampak
menyetujui nasehat Emaknya semalam. Dengan muka kecut tentunya. Kemudian Danar
mulai berpamitan Emaknya dan tetap diam seribu bahasa.
“Hati-hati, Le” iba Emaknya
Danar tetap berjalan tanpa
menggubris.
“Le?!” Seru Emaknya.
Barulah Danar berhenti membalikkan
muka menghadap Emaknya. Emaknya merasa sedikit berlebihan, takut menyakiti hati
puteranya.
“Sudahlah, Mak! Pokoknya biarkan Danar menentukan jalan hidup
sendiri. Anakmu ini laki-laki. Beranjak dewasa. Jika tak sesuai harapan Emak
apalagi Bapak, setidaknya tolong beri kesempatan!”.
----------
Terlihat dari jauh, bus umum yang
menuju kota tujuannya sudah lewat. Danar melambaikan tangan mencoba
menghentikan laju dari bus tersebut. Ketika pintu bagian belakang bus tepat
berada di depannya. Kaki kanannya bergegas menapaki tangga bus. Sedangkan
tangannya memegang besi di pinggiran pintu. Kernet bus mecoba meraih tangan
dari Danar kemudian menyuruhnya segera mencari tempat duduk yang kosong. Tak
dinyana, tak ada satu pun kursi yang kosong. Danar mencoba tak kesal, toh Dia
menyadari fisiknya yang masih kuat untuk berdiri. Lama berpikir, Danar tak
menyadari tepukan pundak dari si kernet. Danar langsung memahami dan memberitahu
kota tujuan serta menyodorkan beberapa lembar uang kepada kernet.
Dia mencoba berpikir kembali tentang
nasehat Emaknya serta apa yang telah diputuskannya. Danar juga amat menyesal
telah bersikap dingin kepada Emaknya. Danar hanya ingin membahagiakan orang
tuanya. Lari dari hidup susah. Mencoba menekuni apa yang ada dalam otaknya.
Jika dikatakan egois, Danar juga tak akan menampiknya. Dia memiliki prinsip yang
tak bisa diganggu gugat. Meski itu orang terdekatnya sekalipun.
Di tengah lamunannya, bus berhenti di
salah satu halte. Mencoba menurunnkan seorang penumpang. Begitulah kiranya
menurut Danar. Dia pun duduk dan mengambil jatah kursi kosong yang ditinggalkan
si penumpang. Danar mulai tersenyum merasa bersyukur akhirnya mendapatkan
tempat duduk. Dia tak menyadari di halte tersebut telah menunggu seorang lelaki
paruh baya serta seorang pengamen jalanan yang hendak naik ke bus. Pria paruh
baya yang telah naik dan sedang mencari duduk tersebut tampak kebingungan.
Kernet bus menyarankan pria paruh baya tersebut agar tetap berada di depan dengan
posisi berdiri. Menyadari hal itu, Danar tampak gelisah. Nuraninya seperti
tokoh protagonis dalam cerita pada umumnya, menolak hal itu. Idealismenya
terasa ternodai. Danar bangkit dari tempat duduknya. Kemudian mempersilahkan pria
paruh baya tersebut untuk duduk. Pria itu tampak sumringah dan berterimakasih
kepada kepada Danar. Giliran Danar yang sumringah. Sedangkan si kernet hanya bisa
diam melihat kejadian tadi. Danar merasa telah memberi kebahagiaan dengan skala
kecil. Baik tindakan maupun dampaknya. Dia merasa membutuhkan hal-hal seperti ini
dalam kesehariannya. Mencoba berbuat baik kepada sesama ataupun membahagiakan
orang lain.
Larut dalam khalayan idealismenya.
Dia menyadari suatu hal yang amat penting. Tepatnya melupakan sesuatu yang penting. Dia terlalu naif, mencoba
memenuhi apa yang dikehendakinya tapi melupakan sesuatu yang memberi segalanya
kepadanya. Dimana dia bersikukuh
membahagiakan orang lain sekecil apapun itu, tapi juga lupa bahwa dia harus membahagiakan
Emaknya sekecil apapun itu. Danar amat terpukul. Dia malu terhadap dirinya
sendiri. Dia berangkat juga bukan karena telah menyadari nasehat Emaknya,
melainkan karena tak punya pilihan lain. Untuk kesekian kali dia merasa sangat
menyesal telah menyalahpahami nasehat Emaknya. Danar merasa terlalu diperbudak
idealismenya yang akhirnya malah melupakan hal penting yang selam ini ada
bersamanya.
Danar berkabung untuk dirinya sendiri. Suara serak basah beserta permainan harmonika dari si pengamen semakin membuatnya jatuh. Setidaknya Danar telah menyadari potret dari dirinya sendiri. Diberitahu diri sendiri. Benar, seperti ending dalam film drama. Ditutup dengan sesuatu yang indah. Indah menurut kita tentunya atau menurut orang lain.
Komentar
Posting Komentar