Intim
Puluhan lembar kertas termakan keranjang sampah di
samping kanan meja. Tangannya gemetaran ketika mulai menempelkan ujung pensil
pada selembar kertas untuk membuat sketsa. Dia tersumbat. Macet. Dia kehabisan
ide untuk membuat sebuah mahakarya atau sekedar sebuah karya saja. Baginya
tekanan banyak pihak terhadap bakatnya membuatnya semakin depresi. Dia orang
yang perfeksionis tapi menolak tuntutan kesempurnaan. Baginya, kesempurnaan
hanya bisa diukur oleh diri sendiri. Bukan orang lain. Tuntunan kesempurnaan
makin menjadi-jadi. Dia merasa tak akan ada yang bisa memahami perasaannya
kini. Toh menurutnya tak ada yang lebih berbakat ketimbang dirinya. Maka
mustahil pula orang lain merasakannya.
Berulangkali
dia menyepi dan mencari solusi. Perhatian dari kekasih pun tak ada. Dia bahkan
tak sempat memberi rasa kepada orang lain selain kepada mahakaryanya. Dia mampu
bekerja seharian tanpa henti. Di sisi lain, orang-orang terdekatnya mulai
mengkhawatirkan kesehatan mentalnya. Beberapa kali diajak untuk berobat namun
selalu menolaknya. Dia beralasan pelayanan kepada klien tetap menjadi prioritas
utama. Ini pula yang membuat reputasinya sebagai seniman terjaga baik di
kalangan sesama seniman ataupun khalayak umum. Hal inilah yang akhirnya membuat
banyak klien berdatangan untuk memesan sebuah mahakarya karena mereka tahu
kualitas dari seorang Rendra. Dia memang seorang jenius dalam bidangnya. Tapi bodoh
dalam mengurusi dirinya sendiri.
”Ren?!”
“Rendra!?”;’
Ibunya yang sudah berumur memanggilnya dari luar kamar.
Memintanya agar segera keluar dan menyantap makan siang. Tak ada jawaban dari
pemuda 25 tahun lulusan fakultas seni rupa tersebut. Dia tetap fokus
mengerjakan mahakaryanya. Ibunya seringkali mengetuk pintu juga memastikan
bahwa puteranya baik-baik saja. Jika sudah demikian barulah Rendra mulai
bangkit dari kursi kayunya. Kemudian keluar dan menyantap makan siang bersama
keluarganya. Ketika makan pun dia terlihat lebih sering melamun. Bukan sembarangan
melamun memang. Dia mencoba menggali inspirasi kapan pun dimana pun. Seringkali
ayahnya menegurnya agar menyelesaikan makan dulu. Rendra tetap bersikukuh dan
tak bergeming tiap kali mendapat nasehat dari kedua orang tuanya. Dia seperti
terlahir untuk menjadi orang yang keras kepala. Ayah dan Ibu Rendra hanya bisa
pasrah terhadap sikap putera mereka tersebut dan berharap hal itu tak ditiru
oleh kedua adiknya.
Selesai dengan makan siangnya Rendra langsung menuju
kamar untuk melanjutkan pekerjaannya. Belum sempat masuk ke dalam kamar. Ibu Rendra
menghentikan langkahnya dan menyuruhnya agar mandi terlebih dahulu. Mengingat
Rendra memiliki kebiasaan tidak mandi ketika pagi hari. Rendra hanya mengesah segera masuk kemudian menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Kedua
orang tua Rendra hanya bisa saling pandang.
Langkah berat dan doyong mengiringi Rendra kembali menuju
tempat duduknya. Kemudian sampai di depan easel
dan menaruh pantatnya pada permukaan kursi kayu. Matanya lurus menghadap
kanvas dengan beberapa sapuan kuas. Tangannya bersimpuh pada kedua lututnya dan
mulai mencengkeramnya. Setetes keringat menetes di pelipisnya. Entah karena dia
begitu depresi atau karena masakan ibunya yang terlalu pedas hingga membuat keringat
keluar dari kepalanya. Di sisi lain bibirnya mulai bergetar. Menggerutu mengeluarkan
sumpah serapah pada dirinya sendiri. Tatapan matanya tajam menghujam ruang
kosong di sebagian kanvas. Kemdian bola matanya mulai mengarah ke dinding
kamarnya. Di dinding kamar terdapat belasan mahakarya pribadi Rendra yang tak
diperjualbelikan. Ada pula duplikat lukisan berjudul “The Scream” karya pelukis
asal Norwegia, Edvard Munch. Lukisan yang memiliki arti judul teriakan atau
jeritan tersebut menggambarkan seseorang yang sedang berteriak di tengah-tengah
bencana alam. Ekspresionis, begitu Rendra mengatakan. Suatu karya yang mungkin
dapat mewakili apa yang dirasakan Rendra selama ini.
Lama dia bertarung dengan dirinya sendiri. Rendra
dikagetkan dengan gemuruh di luar rumahnya. Guntur mulai menggebrak angkasa
yang sedari tadi terlihat cerah dan baik-baik saja. Awan yang mendung mulai tak
mampu menahan beban air yang ditampungnya. Tetes hujan mulai mengguyur
pekarangan rumah Rendra. Aroma khas hujan. Gemricik air yang jatuh di atap
rumahnya. Angin yang berhembus pada kaca jendela kamar, mengaburkan pandangan
Rendra ke luar rumah. Kejadian-kejadian umum yang baru disaksikannya mulai
merangsang pikiran Rendra. Dia seperti menemukan sesuatu yang di butuhkannya
selama ini. Sesuatu yang mesra. Begitu Intim. Sesuatu yang dapat menggugah
inspirasi dan kewarasannya.
Bergegaslah Rendra untuk kembali menghadapkan mukanya ke
arah kanvas. Segera ia raih palet di sisi kirinnya. Sedangkan tangan kanannya
sigap menyaut sebuah kuas disusul menjamah cat yang mulai mengering di atas
palet. Rendra mulai menaruh ujung kuas pada permukaan putih tersebut.
Menggesernya perlahan. Menarik dengan lembut. Raut mukanya mendadak berubah.
Senyum tipis sempat terlihat sebelum ia kembali memasang muka serius. Dia
begitu fokus dengan apa yang dikerjakannya. Dia sangat menikmati momen
tersebut. Seolah dia sedang berhubungan intim. Dengan gairah dan nafsu yang
mewakili emosinya.
--------
Klutak! Suara benda jatuh terdengar di telinga Rendra. Kuas
yang dipergunakannya lepas dari tangan dan telah berada di lantai. Dia tak menggubrisnya.
Dia malah melempar palet di tangan kirinya ke lantai juga. Terlihat cat-cat
yang masih menempel di palet berserakan mengotori lantai. Lagi-lagi dia tak
peduli. Karena memang hal itu disengaja olehnya.
Rendra
bangkit dari tempat duduknya. Dia menengok ke arah jendela dan menghampirinya. Sedangkan
hujan yang tadi mengguyur telah usai. Permukaan kaca jendela tampak basah dan
mengembun. Dia gosokkan jarinya untuk membuat celah intip yang jelas ke luar
jendela. Matanya mulai mendekati celah tersebut. Tatapannya sayu. Di luar
jendela terlihat dua orang bocah sedang main lumpur bekas hujan. Mereka terlihat
sangat menikmati momennya. Rendra kembali tersadar menyusul apa yang baru saja
dilihatnya. Dia seperti berada pada momen yang sama dengan kedua bocah itu.
Rendra
balik badan untuk kemudian menghampiri karyanya. Dia kembali duduk pada kursi
kayunya. Kedua tangannya terlipat di dada. Matanya mengarah pada karya yang
baru saja diciptakannya. Dia tampak puas dengan apa yang dihasilkannya. Lama
melihatnya, dia kemudian mulai melepas penjepit yang menjepit kanvas pada
easel. Rendra menaruh mahakarya barunya tersebut di samping tempat tidurnya.
Dipasangnya lagi sebuah kanvas yang masih perawan. Rendra bersiap menuju
hubungan intim selanjutnya.
Kediri,
Agustus 2020
Komentar
Posting Komentar