Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

Setangkai Pohon

Sebuah tangkai pohon besar menjatuhiku Ketika aku terlelap pukul satu Dengan luka parah bersimbah darah Aku bangun dan mencaci-maki Belum selesai aku mencaci Setangkai lainnya menjatuhiku lagi Aku nyaris terkena kedua kali Aku langsung berhenti memaki Nama suci Tuhan aku puji-puji Karena baru saja aku sadari Kalau aku tidak jadi mati                                                     Mojokerto

Intim

            Puluhan lembar kertas termakan keranjang sampah di samping kanan meja. Tangannya gemetaran ketika mulai menempelkan ujung pensil pada selembar kertas untuk membuat sketsa. Dia tersumbat. Macet. Dia kehabisan ide untuk membuat sebuah mahakarya atau sekedar sebuah karya saja. Baginya tekanan banyak pihak terhadap bakatnya membuatnya semakin depresi. Dia orang yang perfeksionis tapi menolak tuntutan kesempurnaan. Baginya, kesempurnaan hanya bisa diukur oleh diri sendiri. Bukan orang lain. Tuntunan kesempurnaan makin menjadi-jadi. Dia merasa tak akan ada yang bisa memahami perasaannya kini. Toh menurutnya tak ada yang lebih berbakat ketimbang dirinya. Maka mustahil   pula orang lain merasakannya. Berulangkali dia menyepi dan mencari solusi. Perhatian dari kekasih pun tak ada. Dia bahkan tak sempat memberi rasa kepada orang lain selain kepada mahakaryanya. Dia mampu bekerja seharian tanpa henti. Di sisi lain, orang-ora...

Tercipta untuk Setia

Aku, bukan sebenarnya aku. Ini hanya sebuah keber-aku-anku. Ialah orang yang tak pandai dalam urusan asmara. Jangankan asmara. Untuk memandaikan diri pun. Sulitnya minta ampun. Dalam banyak hal, sering merasa tak percaya diri. Entah kenapa bisa begitu. Padahal dalam benakku, tentu aku mampu melakukan hal-hal tersebut. Sebuah kepercayaan diri hanya mau tumbuh dalam benak. Tak mau bergerak. Keluar dan menggertak. Sekali saja kepercayaan diri itu keluar. Malah membuatku begitu congkak. Tentu sangat merugikan banyak pihak. Maka aku juga masih bersyukur dengan hal tersebut. Kembali ke topik dimana aku menyebut sebuah lafal yang bagi sebagian orang tabu. Mmm, bagi yang tuna asmara saja sih. Ya, asmara. Cinta. Tresno. Hubb. Semua sama saja. Tinggal kita memaknainya bagaimana.  Dari awal aku bilang bahwa aku tak pandai dalam urusan asmara. Bukan berarti tak memiliki sesuatu yang lazim disebut doi. Menurutku istilah doi seharusnya tak melulu dia yang sedang menjalin hubungan keterikatan den...

Potret

“Sudahlah, Mak! Pokoknya biarkan Danar menentukan jalan hidup sendiri. Anakmu ini laki-laki. Beranjak dewasa. Jika tak sesuai harapan Emak apalagi Bapak, setidaknya tolong beri kesempatan!”. Suara perlawanan Danar begitu menggelegar dan merubuhkan perasaan Emaknya. Tetangganya pun segan untuk memberi nasehat bahkan sekedar mengintip pembicaraan mereka. Watak yang  keras kepala dan tegas, menurun dari sang Bapak yang meninggal ketika Danar masih berumur sebelas tahun. Mungkin ini yang membuat Danar lebih temperamental ketimbang sang Bapak. Emaknya yang selama ini bekerja sebagai penjual sayur di salah satu pasar dekat kota merasa tak bisa memberi yang terbaik bagi Danar. Terlebih Danar sebenarnya memiliki kemampuan di atas rata-rata remaja seusianya. Emaknya pun tau apa yang diinginkan oleh anaknya. Semua terpampang jelas di balik pintu kamar tidur Danar. Tak ada yang istimewa memang. Bahkan cenderung sederhana mengikuti pola pikir remaja pada umumnya. Sebenarnya Danar bukan anak tu...

Siapa Aku ?

Dilahirkan tanpa akurat  Dengan tangis sangat kuat  Disambut senyum lega  Datangnya sang 'Arjuna'  Bertahun-tahun berlalu  Bertalu-talu benakku  Bertanya entah pada siapa  Beratkah peran yang ku bawa ?  Setelah aku dewasa  Sekiranya Setara perwira  Seolah benakku terus bertanya  Siapa Aku sebenarnya ?  'Aku' tak punya apa  Bendaku akan hilang masa  Tanganku putus aku tak mengapa  Ternyata 'Aku' bukanlah raga  Banyak 'Aku' yang mengaku  Tapi tak jujur berperilaku  Berlebih dalam kilau  Mati dimakan Enau                                       ~Agustus, 2020.

Aku Punya Puisi untuk Mantanku

"Laila, aku punya puisi untuk mantanku"   Seketika itu telingamu memerah. Alismu saling beradu, pun kulit di atasnya mengkerut tak karuan. Kedua bibir yang pernah kulumat hebat kini melecu menolak kata-kataku yang kau anggap rancu.   Meski itu benar kenyataannya.   Kedua mata kita saling bertemu. Tapi tak saling menjamu. Kau begitu mengintimidasiku dengan segala kemarahanmu.   Ralat! Melainkan dengan segala kecemburuanmu   Kedua kakimu sudah tak kuasa di tempat. Namun, nuranimu masih acuh. Kau beranikan diri menangis di depanku yang kurasa tak perlu.   Sebagai lelaki, aku harus bersikap dewasa. Mencoba bersikap bijak seperti dalam film atau drama. Tentu seharusnya bukan bualan belaka. Aku dekati kau, hingga sengal nafasmu begitu jelas terdengar. Ku pikir kau juga merasa demikian. Lalu aku bisikkan sebuah kalimat pada telinga yang tertutup uraian rambutmu.   "Isi puisi untuk mantanku adalah kamu"   Desember 2019

Hari Raya

Kita sedang dalam sebuah perayaan  Takbir lantang dikumandangkan  Di puncak-puncak menara peribadatan  Di halaman  Anak kecil saling bersautan  Atau bermain petasan, seru mereka katakan  Sedangkan para remaja, merasa beranjak dewasa  Memilih berada dalam peribadatan  Atau sebagai pelarian dari perintah emak-bapak  Melantunkan takbir, saling bergiliran  Apa perlu kita tulis pula  Sedikit kisah para orang tua  Emak; yang sibuk mempersiapkan bumbu rendang, sate, kari , dan gulai  Begitu khas cita rasanya  Bapak; menata dan membersihkan peribadatan  Agar esok pagi anak kecil, remaja, dan emak-emak  Khusyuk dalam doa  Demikian pula bagi si bapak  Inilah sebenar-benar hari raya  Juli 2020

Puisi Pagi Hari

I Puisi ini ditulis pagi sekali Saat kabut abu-abu masih menyelimuti, bekas hujan semalam. Hujannya kaum tuna asmara. Karena iri, melihat mereka bersuka-ria. II Puisi ini ditulis pagi sekali Saat ibu-ibu berkeringat beku. Menanak nasi di atas tungku. Sambil menolak kantuk setelah suntuk. III Puisi ini ditulis pagi sekali Saat bubuk kopi masih tersimpan rapi dalam lemari. Gula masih bersemut saling berebut. Sedang air masih dingin-dinginnya, Belum sempat mendidih, meletup letus kepanasan. IV Puisi ini ditulis setelah pagi Dimana kabut telah hilang wujud. Ibu-ibu telah beres menunaikan fardlu. Bubuk kopi, gula, serta air dingin. Telah bersetubuh untuk diseduh. V Puisi ini ditulis untuk menyambut pagi. Bukan pagi sekali Bukan pula setelah pagi Tapi pagi menurut kita sendiri. April 2020